Asma' dan 'Aisyah |
Untuk membentuk karakter memang dibutuhkan keteladanan. Anak bak sponge, menyerap di sekitarnya terhadap apa saja yang ia lihat. Maka ada hal yang memang perlu kami biasakan sejak dini, kalimat thayyibah (kalimat baik) di setiap apa-apa yang akan-sedang-setelah dilakukan.
“Afwan ummi..” Kata ‘Aisyah sambil memeluk saya
yang tengah membantu memakaikan celana setelah membersihkan ‘Aisyah yang
qadarullah, ‘kebobolan’ pup di celana.
“Minta tolong Abi,
ambilkan Asma’ minum..”
“Tabe’ (permisi) Ummi, Asma’
mau lewat..”
“Syukran Abi, jazakallaahu
khaer..”
“Syukran Ummi, jazakallaahu
khaer..”
"Afwan nak, Ummi salah.." Saya pun selalu berusaha mengakui kesalahan dengan meminta maaf.
Terima
kasih, maaf, dan tolong adalah kata-kata yang memberi efek positif. Tentunya
berlaku dari orangtua, antar pasangan, keluarga, dan anak. Tak sebatas itu,
pujian atau sesuatu yang kita anggap buruk sekalipun tetap berucap kembali
kepada siapa yang mencipta.
Subhanaallah
Allaahu Akbar
Innaalillaah
Astaghfirullah
Masyaa Allaah
Insyaa Allah
dll *emak-emak gitu, suka lelah ngetik*
Usia
anak 0-6 tahun memiliki kecenderungan melihat apa yang orangtua lakukan, bukan
apa yang orangtua katakan. Jangan heran bila tiba-tiba perilaku kita seperti
terpantul ke tingkah anak-anak. Bahkan dari cara berbicara, bersikap atau kebiasaan
kita begitu mudah ditiru dengan baik oleh anak. Tak jarang pula orangtua seringnya
khilaf dan luput atas tindak
tanduknya. Astaghfirullaah…
Mulai
dari lisan sampai pada perbuatan orangtua bisa mudah di-copy paste oleh anak. Kerap kali saya dan suami memerhatikan gaya
dan cara bicara Asma’ dan (sekarang) ‘Aisyah yang arahnya kemana. Termasuk tindak
tanduk mereka seperti siapa. Rasa-rasanya malu sendiri ketika yang di-copy paste itu yang tidak mengenakkan mata
dan hati. Langsung ada sesal beruntun dan memperbanyak istighfar atas sikap sendiri.
Untuk
menjadikan anak shalih atau shalihah memang tidak instant. Tidak pula dengan memasukkan
pada sekolah bergengsi, kalau kata Ibu Elly Risman ke sekolah berlabel AL-AL
agar akhlaqnya bisa seperti Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Maka, bekal teladan memang jadi tanggung jawab orangtua yang meski kami harus
tertatih-tatih melakukannya, lelah yang semoga
menjadi lillaah.
Sering dianggap ‘aneh’
oleh kebanyakan orang termasuk orang terdekat. Bahkan ketika mengucapkan, “Syukran, Jazakallaahu khaer..” masih dianggap ribet dan tabu untuk
sebagian orang. Begitu pula pujian berupa “Masyaa
Allaah..” dan kalimat lainnya yang selalu kami ingatkan berkali-kali kepada
anak-anak ketika berujar sesuatu.
“Banyak mainanku..” Begitu yang Asma’ katakan.
Ketika kedatangan kakek neneknya, atau sedang berkunjung ke rumah keluarga,
tetiba ada saja laporan dari Asma’. Entah mainan, baju, buku, dan lainnya.
“Kalau banyak
bilang apa?”
Seperti biasa, saya atau suami berusaha untuk bisa saling mengingatkan, baik
untuk kami, juga anak.
“Masyaa Allah..” Lanjut Asma’ atas banyak mainan
yang ia sampaikan.
“Barakallaahu fiik,
kakak..” Puji
kami ketika mendapatkan tanggapan dari Asma’ berupa pujian kepada Allah.
Begitupun
pada kata ‘astaga’. Asma’ pernah mendengar kata tsb dari luar, dan ia pun
tiba-tiba juga mengatakan kata yang sama membuat saya yang tidak pernah berkata
itu, ganjal.
“Abi sama Ummi biasa
bilang astaghfirullaah, sayang..”
Saya mengingatkannya, kemudian Asma’ mengucapkan kalimat istighfar dengan lengkap.
“Astaghfirullaahal ‘adziimm..” Sambungnya dengan tersenyum.
“Syukran kakak.
Barakallaahu fiik sudah mengerti.”
Puji saya. Tak lupa mendoakannya semoga Allah bisa istiqamahkan kalimat
thayyibah padanya, juga pada anak-anak kami yang lain.
Memandirikan
anak dengan kalimat baik memang dibutuhkan. Sebab kita tidak pernah tahu, bahwa seberapa banyak
yang kita sampaikan mengena di dalam diri anak. Apakah yang terekam dalam benak anak itu adalah yang baik atau buruk. Serta berkata dan bersikap entah pada
siapa nantinya anak-anak kita mencontoh.
Ketika
pengenalan sosok teladan nabi kami upayakan dengan membacakan atau menceritakan. Menjaga sikap kami
sebagai orangtua dengan mengamalkan sunnah, menyampaikan hikmah di setiap kejadian, menjauhkan gadget dan tontonan tv yang saat
ini menjadi ikhtiar kami dalam memberi pemahaman secara bertahap. Pun pada doa
yang bisa kami panjatkan tentunya untuk diri kami lalu anak dan sekitarnya. Karena
pengaruh dari luar begitu deras. Lengah sedikit saja bisa mengubah pola yang
lebih dikenal dengan lifestyle ‘kekinian’.
Kepada
siapa anak kita nanti mencontoh.
Kepada
siapa anak kita nanti bergaul.
Kepada
siapa anak kita nanti ke depannya.
Kita
tidak pernah tahu taqdir Allah apa yang ada di hadapan kita.
Itulah
mengapa salah satu alasan tidak tergesa-gesa memperkenalkan calistung (baca,
tulis, hitung). Sebab ada ‘time limited’
yang sedang kami kejar. Sebelum Asma’, ‘Aisyah, dan Afra’ masuk fase tamyiz ( >
7 tahun). Fase
dimana seorang anak mulai dapat membedakan baik dan buruk, mampu menilai
sesuatu bermanfaat atau tidak untuk dirinya. Membekali dalam ketundukan di hadapan Rabb-nya, pesiapan untuk memasuki fase tersebut. Allaahul musta'an.
Masih
banyak PR kami untuk bisa menancapkan Iman, Islam, dan Ihsan pada 3A Hafizhah
kami. Bekal penting tentang ketundukan pada Rabb-nya meski kami pun sedang
berusaha mengajari diri sendiri.
#BasmahThariq
#Day8
#GameLevel2
#Tantangan10Hari
#KuliahBunsayIIP
#ForThingstoChangeIMustChangeFirst