Bismillaahirrahmaanirrahiim
Langit jingga lekas mengingatkanku untuk bertolak dari keramaian kota menuju rumah. Meski mendung menggantung, rupanya di balik awan-awan itu masih ada seberkas cahaya mentari membentuk garis-garis keemasan memperjelas bentuk awan yang berserak. Senja, entah berapa kali lagi kita masih bisa menatapnya dengan lekat? Sedang menikmati senja, tiba-tiba sesuatu menyelusup ke dalam benakku.
"Ingin kemana?"
Tanya itu seolah menggegas perjalanan panjang yang masih berlanjut. Setelah bahasaku yang terkadang sulit dimengerti juga ketidakmengertianku yang berasal dari kebodohan.
Seolah hendak memangkas waktu, ujarku saat itu, "Aku ingin memulihkan diri..." Ingin me-restart hidup kemudian memulai segalanya dengan lebih baik. Bisakah? Karena tiap detik terus meringkis kesalahan dan kelalaian yang kutemui. Bisa saja ini kealpaan yang menghambat laku keshalehan dan kema'rufan yang masih sedikit kugenggam untuk langkah yang kadang tak kusanggupi. Walau akhirnya tetap menjalani kehidupan ini untuk mendapatkan perhatianNya.
Hari itu, seorang kakak berperangai lembut namun tegas datang kepadaku untuk menanyakan kondisiku. Kakak yang sebenarnya tak begitu dekat denganku tapi ia begitu memberi perhatian penuh. Mungkin untuk satu alasan, dipersaudarakan karena Allah Ta'ala. Tak peduli betapa kesatnya hati ini, ia selalu memberikan bingkisan manis yang ia pun tak menyadarinya bahwa aku menyimpannya. "Tetap menjaga kondisi iman agar bisa diajak kerja sama."
Yah, tentang penerimaan yang tulus atas setiap takdir dariNya saat segalanya telah berjalan mengikuti arah waktu. Pun tentang pencapaian hidup yang harus kukejar dengan tetap memerhatikan kebaikan untuk dunia dan akhirat.
"Jadi, ingin kemana?" Tanya itu menyentakku lagi.
"Kalau begitu, aku tak ingin kemana-mana..." Kataku pelan.
Tertunduk ketika dihadapkan sejumlah kesempatan yang masih kualihkan untuk kesibukanku. Mungkin karena aku lelah dipermainkan oleh rasa hingga tak menyadari pertanyaan itu.
"Kemanapun melangkah, tetap memerhatikan jalan yang kita tempuh. Jika tidak sedang berada di jalan kebaikan, berarti sedang berada di jalan keburukan." Tegasnya dengan terus menggenggam kedua tanganku. Sepertinya ia tahu, bahwa tak lama lagi akan ada gerimis dari ujung mataku.
"Setidaknya juga aku tidak ingin jalan di tempat, Kak." Kataku dengan setengah berbisik. Waktu itu, kami tengah duduk bermajelis. "Sebab aku tak punya kuasa mempermainkan waktuNya. Untuk memutar waktu walau sekedip mata yang berlalu saja tak kusanggupi..." Lanjutku lirih. Kemudian melepas tanganku dalam genggamannya dan menyeka wajahku yang basah. Hujan pun membersamai keadaan ini.
***
Tentang kehidupan kadang membuatku mengalah
pada fatamorgana dunia yang tak layak diambil.
"Ah, Rabbi... kalaupun aku harus kemana, dengan fitnah dunia yang terus merengut kehinaan diri, maka aku tak akan jauh kemana.
Karena aku akan tetap memilih pergi, ke sisi seorang,
yang tak menyesaki sekitarnya, justru untuk
menyempurnakan separuh agama ini."
pada fatamorgana dunia yang tak layak diambil.
"Ah, Rabbi... kalaupun aku harus kemana, dengan fitnah dunia yang terus merengut kehinaan diri, maka aku tak akan jauh kemana.
Karena aku akan tetap memilih pergi, ke sisi seorang,
yang tak menyesaki sekitarnya, justru untuk
menyempurnakan separuh agama ini."