Sesampai di depan kelas, bukannya masuk aku malah menempelkan
wajahku ke salah satu pintu kelas. Beberapa teman kelasku yang menyadari
keberadaanku di luar berusaha menahan tawa melihatku seperti biasanya sambil memberi
isyarat. “Masuk aja, ukh! Ndak papa..” Ujar pelan salah seorang temanku yang
posisi duduknya dekat pintu.
Huft… aku
menghempaskan nafas. “Bismillahirrahmaanirrahiim.. Maafkan aku, ya Allah!!”
Batinku melarat. Dengan langkah berat dan setumpuk rasa bersalah, aku
memberanikan diri mendekati ruang kelas itu. Tok.. tok.. tok..
“Assalamu’alaikum, Pak!” Sapaku dekat pintu. “Maaf, saya telat..
Boleh masuk?” Tanyaku sambil membungkukkan tubuhku beberapa derajat di hadapan
dosenku. Selanjutnya tetap berdiri dekat pintu menunggu jawaban salam dan
respon dosenku. Dosenku hanya menganggukkan kepala dan memasang senyum
simetrisnya di hadapanku. Aku membalas memasang senyum serapi mungkin. “Maafkan
saya, Pak.. Terima kasih..” Aku bergegas mengambil posisi duduk terdekat.
Gara-garanya sering kuperbuat, sampai-sampai salah seorang dosenku
begitu senang melihat keterlambatanku. “Selama perkuliahan yang saya ajar, baru
kali ini ada mahasiswa yang meminta izin dirinya boleh masuk dalam perkuliahan
atau tidak. Kebanyakan mahasiswa justru
dengan sengaja mereka masuk tanpa dipersilakan walaupun sekedar salam.. ”
Dibilang begitu, jelas saja aku malah jadi bingung mau duduk di mana ketimbang
memikirkan pujian dosenku.
Waktu itu, perkuliahanku sering berada di salah satu laboratorium,
jadi posisi duduk tidak menetap. Karena kikuk, aku jadi keliling-keliling di
dalam lab. Alasan lainnya, bingung memilih tempat karena posisi laki-laki dan perempuan yang acak-acakan
alias tak karuan. Salah-salah nantinya bisa
duduk dekat laki-laki.
Pada mata kuliah yang lain di saat ujian, lagi-lagi aku mengalami
keterlambatan yang cukup fatal. Kursi di kelas hampir seluruhnya diisi oleh
mahasiswa. Menyadari hal itu, dosenku
tanpa sungkan menghadiahi tempat duduknya untukku. “Basmah, duduk disini
saja!” Pintanya. Dosenku memilih berdiri mengawasi ujian kami. Benar-benar
merepotkan!
Di lain episode:
Singkatnya, perkuliahan beberapa semester lalu selalu diadakan pagi
pukul 07.30 wita. Terotomatis pula, gerakan cepat menempuh perjalanan yang
menggebu hingga sampai di kampus bisa sampai tepat pada pukul 07.00 atau
sebelum dari waktunya. Bukannya mendapati dosen di waktu yang ditentukan, rupanya
kami sering mengalami gagal perkuliahan pagi karena dosen berhalangan. Biasanya
pilihan terbaiknya, perkuliahan akhirnya delay sampai selepas ‘ashar. Qadarallah
wa maa syaafa’al..
Jika ceritanya begini, orang yang anti galau pun bisa jadi galau
akut karena tindakan-tindakan dosen yang begitu diharapkan bisa tepat waktu.
“Enaknya jadi dosen, semaunya.” Beginilah lontaran kebanyakan dengan penuh rasa
kecewa.
Bagiku yang sering menangkap ekspresi tersebut hanya berusaha
memompa semangat “selamat pagi” mereka untuk tetap menjemput perkuliahan senja.
“Yah, namanya juga dosen! Punya segudang kesibukan. Kita harus mengalah dan
bersabar..” Kataku yang dibuat sebijak mungkin. Padahal, hanya ingin menata hati
yang hampir hancur berkeping-keping ketika harus mengingat time schedule
sore full dengan jam mengajar, mengisi kajian atau musyawarah. Innaalillaah…
Kalau sudah begini, biasanya respon teman-teman justru kompak menanam
niat yang kurang menyenangkan. “Nanti kalo jadi dosen, saya bakalan begitu
juga.. Beneran!” Waduh, benar-benar diniatkan dari sekarang ya? Sempat
berfikir sih, apakah dosen yang mengulur waktu perkuliahan karena
kesibukannya pernah mendapat sikap serupa dari dosen mereka sebelumnya?
Wallaahu a’alam. Tetap ambil alih ke positive
thinking!!
Akhirnya, kita dibuatkan untuk saling meluaskan hati untuk menerima
kondisi yang demikian. Dan seharusnya, sesama pendidik, kita tetap me-list:
memasang sebuah pembaharuan sikap yang lebih baik. Bukan malah mempersiapkan
sikap diri dengan modus: “Dosen kita dulu juga begitu.”
Ah, selalu begini ceritanya. Perkuliahan
selalu didera oleh banyak pelibatan emosi. Cepat atau lambat dalam perkuliahan,
benar-benar sesuatu yang selalu diupayakan untuk membelajarkan diri. Itu hal
penting. Kita sedang diajarkan dari fluktuasi emosi agar bisa mengukur sikap
kita kepada siapapun untuk menjadi yang baik, untuk diri sendiri pun untuk
orang lain sekecil apapun.
Terakhir, maaf, tulisan ini terlihat tak
karuan semenjak waktu menyita banyak fikiran jelang KKN. Perasaan berkali-kali
dibuat kurang kondusif karenanya.
Sedikit banyak mempengaruhi kelelahan. Tapi, insya Allah tidak menjadi tanda-tanda galau. Justru ingin menjadi ‘cukup
kaya’ dengan selalu meluaskan hati atas cerita-cerita di dunia perkuliahan.
Setidaknya, sebelum aku benar-benar meninggalkan kemilau kampus ini.
***
Dari kampus turun ke hati..
dari kampus naik ke kepala..
dari kampus ke semuanya..
Lalala.. lalala.. (lagu versi iklan "Dancow")