Aku merasa pertemuan kali ini adalah pertemuan yang paling “hambar” bersama beberapa rekan seperjuangan di siang hari. Entah kenapa, saat hadirku disambut dengan kata-kata tak sedap dari seseorang yang menjadi pemimpin di sebuah amanah yang kugeluti. Awalnya, aku menganggap itu hanya sebuah kepedulian terhadapku. Tapi lama kelamaan, kata-katanya bak serangan yang tepat menghantam dan meluluhlantakkan pondasi yang ku bangun selama ini.
“………… Kalo begitu, sebaiknya gak usah jadi akhwat saja. Dan bla… bla… bla…”
Jdeeer!! Kata-kata yang perih menembus ruas-ruas hati kacil ini. Hanya seulas senyum memaksakan diri ini untuk tampak tegar dengan getir mendengarnya. Aku menyadari, tak sepenuhnya kesalahan berada di pihaknya, karena ia tak mungkin mudah melontarkan kata-kata menyudutkan itu. Tapi, perlu ia sadari, bahwa lawan bicaranya tetaplah manusia lemah, aku, aku yang masih berada dalam fitrah manusia saat aku mengutarakan ego yang bersanding dalam diri dengan apa adanya.
Hanya ingin menetralkan diri dari segala noda yang terjadi hari ini. Sentilan-sentilan ini melahirkan rasa ingin menekuk diri. Ingin menekuk diri. Sekali lagi, ingin menekuk diri. Membiarkan ego membungkam diri agar ia tersadar, bukankah kalimat itu yang pernah ia sampaikan?
Tapi, bukan sanjungan dari siapapun, melainkan ridhaMu, ya Allah.. Dalam waktu yang bersamaan, kerapkali aku berusaha memunculkan kata-kata yang mampu menetralisirkan perasaan yang berserakan ini. Menata kembali langkah-langkah yang sudah kutelusuri. Kontras rasanya jika aku harus berhenti hanya pergesekan seseorang.
Ya Allah, kembalikan aku, genggamlah hati ini...
Dekaplah aku hingga menjumpaiMu kelak...