Kukatakan saja, Alhamdulillah aku memiliki banyak adik meski mereka tidak terlahir dari rahim yang sama denganku. Adik-adik yang terlahir dari ruang hati keimanan yang sama-sama kami genggam selama ini, Islam. Yah, pertemuan dalam ukhuwah islamiyah yang telah terjadi sekitar di masa balutan putih abu-abu.
Di antara mereka, ada seorang adik yang bagiku cukup mengagumkan dan juga cukup memalukan bagiku jika membandingkan aku dengannya. Boleh dikatakan, pada saat itu ilmu yang kumiliki masih sangat minim membuat aku banyak terhenyak dan selalu ingin banyak belajar di tiap perjumpaannya.
Teguh pada pendirian, kritis, dan memiliki semangat juang yang begitu memukau di perjumpaan pertama kami. Masalah-maslah yang selalu menghadangnya begitu kuat ia jalani. Itu yang aku tahu. Saat berbincang dengannya, kami langsung klik. Mulai dari dakwah hingga ke masalah pribadi. Bahkan ada beberapa hal yang sepele menurutku, namun baginya adalah masalah besar yang tak boleh diremehkan.
Ia pernah memaparkan banyak hal yang tak pernah terbersit dalam fikiranku. Satu hal yang masih terekam jelas dalam ingatan, mengapa kita tidak boleh hormat pada bendera, kemudian ia sematkan perbandingan Al Qur’an dan bendera, mengapa harus begini, mengapa bukan begitu, dll. Perbandingan yang tak pernah terpikir oleh seorang aku. Pun ia orang yang tanpa ragu dalam beramar ma’ruf nahi munkar. Meski tak jarang selalu mendapati ia dijauhkan dari teman-temannya. Karena seperti biasanya, aku yang juga dekat dengan beberapa teman-teman kelasnya selalu mendapatkan pengaduan dari mereka jika ada hal-hal yang tak bisa diterima oleh mereka.
Masih ingatkah dik, tentang musik yang kau tentang keras di dalam kelas?
Atau tentang tema lomba mading yang disepakati oleh teman-teman adik dari negara kaum kafir?
Meluap-luap semangatnya sekaligus melahirkan kesedihan sebenarnya. Meski memang semua ini mampu ia lakukan dengan keteguhan hatinya. Sabar terhadap cercaan. Kadang saat aku dilibatkan dalam kehidupannya, aku-lah yang merasa digertak. Karena banyak hal yang masih luput dalam fikiran awam ini. Bahkan aku merasa malu sendiri saat ada sebuah pesan singkat yang ia kirim untukku.
“……… Lebih baik saya dimusuhi oleh teman-teman saya daripada saya harus melukai perasaan Allah..” Dalam bimbang, di sudut mata ini berembun. Betapa banyak yang tak pernah kusadari dalam diri hingga kalimat ini mampu memercikkan hati dalam kesedihan.
Lalu berganti hari, bulan, dan tahun, tak terasa kita sama-sama menekuni dunia perkuliahan. Meski terpisah oleh jarak, karena kita bertolak ke arah yang berbeda. Dan bulan-bulan aku disibukkan dengan waktuku tanpa bersinggungan dengannya. Meski entah kenapa akhir-akhir ini kami sering berbincang secara maya, bertukar sapa, mengurai kisah kampus dan sekitarnya.
Dan aku melihat ada yang hilang darinya..
Malam itu, kami berbincang secara maya… Saat berkali-kali kudapati kata-kata yang tak pernah kusangka. Aku menemukan sosoknya yang beda. Di banyak hal mungkin. Melalui banyak status yang ia layangkan di jejaring pertemanannya, dan yang mengejutkan tentang ia akan menjadi orang yang sangat bahagia bertemu dengan orang nomor satu di Amerika yang akan berkunjung (meski sebenarnya aku tidak mempermasalahkan dengan orang nomor satu itu berinisiatif akan berkunjung ke Indonesia) di kampusnya. Bahkan ia mengasihani sosok nomor satu dari Amerika itu selalu dikaitkan dengan Palestina-Israel.
Hati terenyuh. Memaksakan diri untuk kembali melayangkan masa lalunya tentang ketegasannya saat ia menolak keras untuk menyepakati negeri kaum kafir sebagai tema lomba mading kelasnya saat itu. Bahkan dengan sikap dinginnya, ia rela dijauhi beberapa temannya hanya demi mempertahankan prinsipnya. Dan hari ini, ia berada di posisi yang bertolak belakang, tak mengingkari apalagi menentang. Saat perbincangan bergulir secara maya, aku hanya membiarkan sisi manusiawinya berkata. Dan aku hanya menyambut dengan “wallahu a’alam” setiap kali meminta pendapat, karena aku tak memiliki hak atas apa yang akan dihadapkan nantinya.
Ya Allah, inikah yang dinamakan kita dimaikan oleh situasi? Pada situasi ini, aku merasa ada yang hilang dari dirinya, dan menemukannya yang berbeda. Berulangkali menegaskan diri, mengingatkan diri bahwa hati ini dalam genggamanNya. Aku tak punya hak untuk men-judgenya dalam kata-kata yang nyata. Dan aku tak punya kelebihan apa-apa dalam menghardik dan menggugatnya untuk kembali seperti ia di masa lalu.
Dengan segenap harap, doa atas penjagaanNya untukmu sudah kulangitkan. Dan semoga masih tersisa ketaqwaan dan keistiqamahan dalam diri-diri kita.
Dik, aku menginginkan sosokmu yang kemarin...