#1
Pagi cerah menghabiskan waktu
pada lembaran-lembaran buku Soft Skills
untuk Pendidikan, mengajak pikiran ini dicecar oleh bayangan kedua negeri
yang menjadi impianku. “Negara maju
berarti ia telah memperhatikan pendidikan dalam kondisi sedemikian rupa.” Simpulku.
Tak ada alasan, ketika setiap
kali berada dalam posisi yang terperangkap pada negeri yang begitu mencemaskan
akan pendidikan. Maka, meraba beberapa negeri seberang adalah bentuk upaya
untuk memajukan negeri ini. Apa salahnya? Pada sejumlah buku yang berimbuh
pendidikan yang pernah kubaca, justru merekomendasikan untuk memperhatikan dan
mempelajari bagaimana negara-negara asal Asia Timur ini membangun negaranya.
Jepang dan Korea, kedua negara
tersebut juga pernah terpuruk, pernah mengalami kekalahan dalam peperangan,
pernah mengalami kegagalan, dan lainnya. Tapi, kedua negeri itu punya beberapa
hal yang bisa membangun kembali negerinya, yaitu: kesadaran, tanggung jawab,
dan komitmen kuat dalam mengawali kehidupan bernegara dan memperbaiki semuanya dari
sebuah penanaman dalam diri yang terbentuk dan terarah bernama pendidikan.
Pendidikan yang tidak hanya meminta implementasi segi kognitif, tapi juga
menuntut pada psikomotorik dan afektif seseorang. Yang tak kalah mengejutkan,
justru pendidikan bagi keduanya itu sebagaimana ilmu itu bisa memberi ruh dalam
dirinya masing-masing. Kejujuran yang tak hanya ada pada teori. Kedisiplinan
yang tak hanya pada banyak janji belaka. Rasa tanggung jawab tak hanya ada
dalam bayang-bayang. Tapi, mengupayakan adanya indikasi dari pendidikan dan
meyakini bahwa pendidikan merupakan investasi yang luar biasa dalam membangun
negeri.
Ah, semoga kita bisa memberi ruh
pada masing-masing ilmu yang kita miliki. Sama seperti mereka, kita terlahir
dalam keadaan yang berakal untuk menempatkan sesuatu yang memang semestinya.
#2
Duniaku sedang berputar pada: Ruang kelas – Gedung Sekolah – Anak – Ibu
“Mbak, anak saya tulisannya gak terlalu bagus. Padahal dia udah kelas 2
lho, mbak..”
“Bu, anak saya kok susah sekali ya kalo disuruh belaja? Butuh hidayah
kayaknya ya?”
“Si A.. Selalu aja kalo waktu belajar, maunya maiiiin terus.. Gimana
bu?”
Tersadarkan atas
pertanyaan-pertanyaan ini justru sering dilayangkan untuk seorang “aku” yang
masih memiliki kadar sedikit untuk membenahi anak-anak. Tak lepas dari hal itu,
seringkali kondisi ini pula yang bisa mengantarku untuk banyak belajar lagi dan
mendapati jawaban dari proses yang kulalui. Tentunya, untuk memenuhi semuanya,
mencoba menjawab dari hasil membaca banyak buku, banyak bertanya dan share ke
orangtua murid, terlibat langsung dengan mengikuti seminar parenting dan
training untuk calon pendidik. Setidaknya ada bekal melatih diri untuk lebih.
Lebih mengerti, lebih memahami, lebih tahu, dan… lebih mempersiapkan diri untuk
menuju.
#3
Guru dan Murid = Sama-sama sedang belajar
Intinya, kita mau – bisa –
lakukan demi ketercapaian proses pembelajaran.
Memiliki skill khusus dibutuhkan waktu untuk mengupayakan semuanya ada.
Percaya atau tidak, aku baru mahir dalam meng-gradasi warna itu disaat duduk di
bangku perkuliahan. Pada saat salah satu murid privatku sedang mengisi waktu
kosongnya dengan mewarnai dengan sangat indahnya, aku pun tak ragu ingin
belajar. “Azka, ustadzah* boleh belajar gradasi warna dari Azka?” Tanyaku penuh
harap. Ia pun tanpa sungkan menerimaku dan mengajariku dengan sangat tekun
seusai belajarnya selesai. Alhasil, setiap kali aku menyelesaikan gambarku,
kemudian membawa dan menyuruhnya untuk mengoreksi hasil gradasi warnaku. “Azka,
ustadzah udah warnain ini. Coba dinilai ya..”
Di sini, kita bisa melatih
kepercayaan dan kemampuan anak didik, bahwa segala sesuatu itu tidak harus
didapatkan dari guru seorang. Tapi, bisa jadi murid membelajarkan pada banyak
sisi yang justru kita kadang luput dari kemampuannya yang lebih.
Lain gradasi, lain juga dengan
origami. Pada saat sedang mengeluarkan buku dari tasnya, tiba-tiba sebuah hasil
karya origami terjatuh. Aku yang memungutnya mengamati lekat kertas lipatan
itu. “Ini Azka yang buat? Boleh diajarin cara buatnya?”
“Tapi, aku cuma taunya yang ini
aja, ustadzah.. Itupun diajarin temenku di sekolah” Katanya dengan sangat
polos.
“Oh gak papa, Azka.. Ntar
ustadzah bakal kasih tau cara membuat yang lainnya.” Akhirnya, aku rajin men-search di google dan mengikuti tutorial origami dari internet yang kemudian
ku bagikan kepadanya dan murid-muridku di waktu senggang.
Rupanya, aku memang masih harus
banyak belajar..
#4
Mau mendengarkan suara (hati) kecil..
Kita kerapkali dihadapkan untuk
tiba-tiba memahami kondisi seseorang. Sekalipun ia tak mengerti bahwa memahami
kondisinya bukan hal mudah dituruti seketika.
Kali pertama mem-privat di sebuah
rumah kompleks sebelah, seorang anak laki-laki yang kondisi belajarnya masih
labil dan bergantung pada mood-nya,
lagi-lagi mengajariku pada banyak hal. Mulai dari belajarnya harus ditemani
oleh ayahnya yang justru membuatku kikuk dihadapannya, sampai pada mogok
belajar karena kondisi keterpaksaan. Disanalah aku mengerti, menumbukan
kecintaan belajar pada anak diawali dari hal-hal yang dekat dengan dunianya.
Yah, bermain. Bukan dengan ancaman atau bujukan sekalipun yang akan mengubah mindset anak bahwa belajar: menakutkan.
Awalnya, ingin menyerah ketika
berhari-hari dipertemukan dengan kondisi yang sangat dipaksakan. Tapi, situasi
itu justru mengalihkan cara membelajarkan sosoknya dari biasa menjadi luar
biasa. Laki-laki yang berusia 4 tahun itu akhirnya mau mengaji hanya bermodal
crayon dan kertas putih polos yang tanpa sengaja tergeletak di atas meja
belajarnya. Memulainya ketika tiba-tiba saja ia mendekat dan menggambar di
sebelahku tanpa dipinta.
“Mirza lagi gambar apa nih?”
Tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Lagi gambar mobil.” Katanya
pelan dengan tetap memainkan jarinya di atas kertas tersebut.
“Waah, anak shaleh yang satu ini,
hebat...” Pujiku sambil terus mengamati gambarnya. “Kalo gitu, dik Mirza bisa
gambar rumah juga dong?” Pintaku kembali sambil terus mengamati tangan
mungilnya yang lihai.
“Bisa..” Jawabnya datar yang
kemudian memenuhi pertanyaanku itu.
“Masya Allah, bener-bener
keren..” Pujiku lagi sambil mengusap kepalanya ketika ia telah berhasil
menggambar rumah. Kemudian aku meminta ia menggambar sesuai keinginannya. Maka,
ia pun menggambar sampai akhirnya, “Kalo gambar huruf alif atau a yang ada di
iqra’nya adek Mirza, bisa gak?” Tanyaku pelan-pelan dengan sebuah penawaran baru.
Aku tak sungkan memperlihatkan buku Iqra’nya.
“Bisa..” Masih dengan jawaban
yang singkat, ia memenuhi permintaanku.
“Hebat, masya Allah!!” Pujiku
ketika ia menunjukkan hasilnya yang maksimal. “Yang adek gambar itu huruf apa?”
Tanyaku mengulangi apa yang ia gambar tadi.
“Huruf alif atau a..”
“Masya Allah, benar-benar anak
shaleh! Hebat!” Pujiku untuk kali kesekian dengan perasaan senang. “Adek bisa
buat huruf ba, gak?” Tanyaku kembali
sambil menunjuk ke arah iqra’ miliknya.
Ia pun menuruti keinginanku.
Setidaknya metode ini bisa mengantarnya untuk mengenal huruf-huruf hijaiyyah
dengan caranya. Sesukanya, tanpa mengikatnya bahwa belajar ya harus pada buku
Iqra tersebut.
Pekan-pekan berikutnya, ia tak
ingin lagi menggambar. Sepertinya rasa bosan tengah menggugah dirinya. Tak
ingin kehilangan cara, mataku tiba-tiba terpikat pada sebuah bantal guling
berbentuk boneka Lala, salah satu pemeran Teletubbies. Entahlah, tanganku
tiba-tiba ingin meraih boneka tersebut dan memainkanya
“Hey Lala, si Mirza anak shaleh
ini lagi ngambek tuh..” Godaku sambil mengajak boneka teletubies ini
berinteraksi padaku. Waktu itu, ia sedang merebahkan badannya di sofa. Aku pun
mulai mengelilinginya sambil terus membawa boneka Lala. “Oh ya? Kalo gitu kita
ajak main aja, yuk..” Jawabku dengan mengubah nada suaraku menjadi sosok Lala
yang menghampiri Mirza.
Aku dan Lala pun mendekat ke adik
kecil ini, Mirza. Ia pun akhirnya menuruti keinginanku dan Lala untuk mau
mengaji. Sesekali ada tawa yang selalu membersamainya saat melihatku yang
berlaku Lala. Kadang, aku berperan menjadi sosok yang berpura-pura tidak tahu
dan menjadikan Lala sosok guru yang siap mengajariku dan Mirza untuk mengaji.
Butuh waktu yang lama untuk bisa membuat Mirza menurut. Yah, hitung-hitung,
melatih diri berbahasa anak untuk suatu nanti. Mungkin di suatu hari nanti
pula, aku akan menggunakan cara ini di depan kelas menghadapi anak-anak
didikku. ^^ Doakan ya..
Mungkin,
karena kesempatan
mengetahui banyak hal itu
bergantung pada kondisi dan situasi,
hingga kemampuan
juga akan terlahir dari kesempatan yang ada.
*sapaan Bu Guru; entah kenapa sang ibu menyematkan sapaan itu pada yang sebenarnya aku ingin dipanggil "Kakak"
12 comments
MasyaAllah, mantaaaaaaap
semangat sekali hehehe
Pada beberapa hal...
Aku merasa ingin menjadi seperti dirimu...
Ingin menjadi profesional di bidang yang mungkin boleh dibilang 'pelarian'...
Tapi, aku tak ingin menjadi orang lain...
Assalamu'alaikum
Mungkin,
karena kesempatan mengetahui banyak hal itu
bergantung pada kondisi dan situasi,
hingga kemampuan juga akan terlahir dari kesempatan yang ada.
*sapaan Bu Guru; entah kenapa sang ibu menyematkan sapaan itu pada yang sebenarnya aku ingin dipanggil "Kakak"
hehe apa aja jadi ... klo selama dipanggilnya baik hehe... tokh nnti ada masanya jadi ibu yah?
luar biasa... semangatnya tinggi...
jadi isniprator nih..
Pengen banget jadi guru~...~_~
semoga makin sukses ya kedepannya
:D
salam kenal ya bu guru...heheheh
salam dari blogger surabaya :)
@Kaito KiddHm.. iya.. Sepertinya harus semangat sebagai tanda bahwa kita mencintai pekerjaan ini.. ^^
@AnonimKita yang menjalani berarti kitalah yang harus menentukan pilihan ini secara matang. Pelarian bukanlah salah satu celah untuk menyelesaikan masalah. Semoga bisa menemukan arti sesungguhnya dari satu profesi ini. Yah, dengan bahasa hatimu yang tak kan satu pun orang bisa memahaminya.. :)
@Annur EL- KareemJazakillah khaer untuk semuanya.. InsyaAllah, untuk menjadi ibu dan inspiratornya.. :))
@farid maricarMasih ada kesempatan untuk menjadi guru. Secara tidak langsung kita telah menjadi guru. Guru untuk diri sendiri..
@Penghuni 60Aamiin, insyAllah.. syukran untuk doanya..
@widhi onlineSalam kenal jg.. Senang bisa dapat teman blogger dari surabaya..^^