Maghrib hampir menyambut saat beberapa panitia masih saja berkemas-kemas untuk menyiapkan acara hari esok. Bukan lagi dikatakan H-1, tepatnya bisa dikatakan -12 jam lagi saat harus menyiapkan beberapa barang perlengkapan untuk menjemput kegiatan Temu Aktivis Rohis yang terselenggara besok pagi. Di antara barang yang terpenting adalah hijab (pembatas) untuk banyak kemungkinan mengingat kami meminjam aula dari salah satu sekolah negeri di Makassar.
Dalam kepanikan yang terus mendera karena waktu yang tak lagi banyak, seorang akhwat sebut saja Ana, dan ditemani pula oleh Hilya mendatangi sebuah kampus tempat Ana mengenyam pendidikan. Sesampai di kampus, tanpa merasa canggung, Ana dan Hilya pun melesat ke masjid kampus tersebut sebagai bidikan yang tepat untuk meminjam hijab masjidnya. Sesampainya, Ana dan Hilya langsung menghampiri hijab masjid yang menjadi pembatas antara ikhwan dan akhwat.
“Afwan… Bisa kami pinjam hijabnya?” Ujar Ana dari balik hijab bagian akhwat sambil mengguncangkan helaian kain hijab sebagai sinyal keberadaannya.
“Iya, ambil saja di lemari.” Tiba-tiba terdengarlah balasan ikhwan dari balik hijab tempat di mana Ana memberi isyarat atas guncangan helaian kain hijab tersebut.
Walau masih menggenggam rasa kepanikan sebelum melesat di masjid terebut, Ana keheranan atas perintah si ikhwan tersebut. Tanpa banyak tanya, bersama Hilya, Ana bergegas melangkahkan kaki ke arah lemari yang berada di sudut ruang masjid bagian akhwat. Kemudian membukanya dengan ekspresi yang berhiaskan tanda tanya besar. “Hijab? Di dalam lemari?”
Ana membuka lemari tersebut. Tapi, yang diharapkan ternyata tidak ada hijab yang ia maksud sebagaimana yang dikatakan oleh si ikhwan. Hanya berisikan setumpukan mukena dan beberapa sajadah. Tunggu dulu, setumpukan mukena dan beberapa sajadah. Innaalillaaah, jangan-jangan yang dimaksud hijab itu adalah. . . . . .
Seketika itu pula, gemuruh tawa tertahankan, karena Ana dan Hilya telah mengerti apa yang dimaksudkan oleh si ikhwan tersebut. Ternyata, hijab yang dimaksud oleh si ikhwan itu adalah mukena (alat shalat yang dikenakan oleh muslimah ketika shalat). Meskipun sebenarnya si ikhwan tersebut tidak sepenuhnya salah.
Tapi, merasa tersia-siakan karena ketidakmengertian si ikhwan tersebut, Ana dan Hilya memilih beranjak pergi meninggalkan tempat yang masih saja menggenggam tawa yang semakin membuncah. Ups, salah hijab!!
Makassar, 14 Mei 2011
Teruntuk ukhti Ana dan ukhti Hilya,
untungnya dia tidak berucap begini,
“Afwan, kami tidak punya hijab yang antunna maksud..”
GUBRAKS!!
6 comments
Maasya Allah Basmah...
kalau saya yang ada di situ, mungkin saya bakalan sakit perut gara-gara tertawa terbahak-bahak
Hahaha...
Hahaha... jgnkan ukhti, sy juga psti bakal menderaskan tawa..
tapi, alhamdulillah bukan sy..^^
:)
Torehan kisah yg mungkin akan berbekas :)
sangat menyisakan bekas :)
syukran atas kunjungan ke rumah blog sy.
Bismillah,,
Baru sempat baca,,
tapi nge-bacanya ajjah udak bikin perutku sakit ukh,, gimana kalo saya juga hdir di tempat wktu itu, heheheh
Waahahha padahal sudah bisa ketebak mba .. yang dia maksud pasti bukan hijab papan ! tapi mukena . Tapi mba mengemas nya dalam sastra yang baik . LAGI LAGI SAYA SUKA ^_^