Entah kekuatan apa yang memberanikan diri ini untuk kembali menjemput segala rutinitas. Meski banyak yang harus ditanggalkan. Jam ngajar mulai tersisihkan untuk menjumput makna di setiap pertemuan sederhana ini. “Aku memang tak yakin bisa dengan raga yang rapuh ini. Tapi, Allah meyakinkanku untuk semuanya.” Ucapku lirih. Kemudian meremas resah untuk mengemasnya dibawa pergi. Karena ada janjiNya yang lebih indah, bukan?
***
Bukan, bukan Engkau, Rabbi.. Semestinya aku tak melakukan hal ini. Menjaga jarak darinya, berarti sama saja aku sedang membatasi diriku padaMu. Dan aku tak ingin kehilangan jejakMu walau sedetik. Aku menghargai pemberianMu atasnya, menjumpai mereka meski menemui banyak kesulitan di setiap kekakuan lidah mengenal alif, ba, dan ta yang diakhiri ya. Tapi, dari sanalah aku ingin menjumput kembali maknaMu.
***
“Dik, apa yang kau tangisi darinya?” Tanyaku di akhir pertemuan kemarin. Rasanya terlalu sadis aku menanyainya seperti ini, sedang wajahnya masih terbaca jelas guratan perih menahan rasa yang menjalar di ruas hatinya.
“Ndak tau ka juga.” Ujarnya dengan masih menahan seribu tanya di kepalaku. Selebihnya, aku sedikit menggengam harap, menungguinya mengucap gundah, bersabar mendengar tangis yang memecah. Sesekali di matanya ada air yang mengapung-ngapung.
Lagi-lagi, bibit itu. Dan ia berniat ingin bersemayam di hati adikku ini.
“Jangan biarkan celah di hati ini untuk menanamnya. Apalagi untuk dia yang tak memberikan sepeser kasih pun” “Memberi celah, berarti mau tak mau kita akan menanaminya, memeliharanya, dan memupukinya hingga ia bermekaran.”
Hh.. Memikirkannya adalah kebodohan. Sedang memelihara rasa untuknya adalah kepedihan.
***
Akhir-akhir ini, terlampau sering senja ku pandang. Mungkin jarak aktivitas dan rumah yang cukup jauh, akhirnya memanfaatkan perjalanan pulang untuk menikmati senja yang merangkak siap menengadahkan langit kelamnya.
Seolah membalas kepenatan yang menyemat di tiap waktu. Lalu menyapa langit dengan doa petang yang bisa menguatkan kembali langkah-langkah ini. Padamu langit, engkau telah dititipkanNya yang terindah untuk dipandang. Awan yang selalu berserakan, cerah dan kelammu tetap saja membuatmu cantik. Aku suka langit.
***
Hey… Aku, si Bianglala.
Rupanya seseorang menyimpan namaku di phonebook pada ponselnya dengan nama Bianglalaku. Dan ternyata, ia menyimpan beberapa nama blog sebagai nama di phonebooknya. Ada Kemilau Cahaya Emas, dan mungkin ia masih menyimpan nama dengan caranya sendiri.. Hm, gara-garanya aku dibuat takjub dan terharu. Sebab ia tak pernah menyisakan jejak sedikit pun (semoga kamu membacanya ya, dik!!) di rumah ini. Ternyata, ia pembaca tanpa jejak (mungkin aku akan menyimpan nama itu di phonebooku ).
Terima kasih atas keceriaan dan cerita yang kau beri. Yang setiap pertemuannya selalu berucap, “Kak, ada yang kurang! Mana Kak Tri?” Ia menganggapku, aku dan Tri satu paket. Ah, semua orang berpikiran begitu..
***
Maafkan aku, kakak! Sepertinya aku belum bisa duduk di sana untuk kali kesekian. Meski aku selalu merindukan dalam diam. Menangis dalam diam. Karena disanalah tempat cinta yang tak bersyarat. Mengajarkan riuh putaran waktu yang indah karenaNya.
Aku masih dibelenggu oleh keegoisan diri. Hingga menghentikan langkahku untuk hadir disana. Entahlah sampai kapan. Berharap, suatu hari nanti, langkah ini masih ada dan tak pernah melesap pergi.
Aku masih baik-baik saja kok, kak!
Emosi yang masih saja ber-fluktuasi
"MerindukanMu, dalam diamku.."
3 comments
Bismillah
Hahahaha ^^
Hey, si bianglala :)
hy bianglalaku..
-mencoba meninggalkan jejak-
@ K' Maya : haha.. apa kabar Kemilau Cahaya Emas?
@ adikku : syukran adikku atas jejaknya.. :)