Rasa malas lebih sering menjemputku di tengah kondisi yang sedang tak fit. Namun, saat-saat rasa ini kembali menyergap dan memaksa untuk menyelinap dalam ketidakberdayaan ini, pada akhirnya saya memilih untuk jeda sejenak dalam menata ruang hidup selanjutnya. Yah, dengan mengais hikmah sebagai penyemangat dalam tiap perjumpaan aku dengan manusia-manusia hebat.
Tak kuasa, kembali lisan ini mengucap puji syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang telah sengaja menyajikan skenarioNya dengan begitu indah hingga tiap perjumpaan yang terkadang luput dari diri ini menjadikan aku belajar banyak hal.
Saya merasa bahagia karena disela-sela kehidupan ini Allah mempertemukan saya dengan beragam manusia tempat saya belajar banyak hal, tentang keistiqamahan lewat perjuangan-perjuangan manusia-manusia hebat yang pernah saya temui. Bukan berarti di sini saya menafikkan ibrah dari risalah para nabi dan rasul yang telah dibuktikan secara nyata. Tapi sekali lagi, saya bisa kembali mempelajari banyak hal tentang ujian seseorang saat ini yang ternyata telah dicontohkan pula oleh para nabi dan rasul.
Meski perjumpaan ini tak dianggap oleh siapapun ia kepada saya, tapi kesan yang mereka tinggalkan di lubuk hati saya melebihi itu. Salah satu bentuk kasih sayang Allah saya temukan pada setiap kisah hidup orang-orang di sekeliling saya. Keluarga, sahabat, bahkan orang-orang yang tak saya kenal sebelumnya.
Seorang adik kelas, laki-laki muda berumur 3 tahun di bawah saya. Berperawakan sedikit sulit ditebak tentang kepribadiannya, karena mengenalnya dari perjumpaan tak terduga. Mungkin berawal dari keterlibatan di sebuah lomba yang ditunjuk oleh teman saya tentang kemampuannya, hingga masuknya ia pada sebuah ekskul yang telah saya geluti lebih awal. Tanpa sungkan suatu hari ia menceritakan sepenggal kisah hidupnya di sela-sela kesibukan kami. Ia bercerita tanpa memberi saya ruang untuk menanggapi, ceritanya mengalir begitu saja. Mempercayakan kisah kesulitannya untuk di simak oleh saya. Ternyata, ia terlahir dari orangtua yang memiliki perbedaan latar agama dan suku. Pengalaman yang dianggap lumrah dalam hidupnya saat pergesekan mengalami keyakinan membuat ia tetap tegar dan istiqamah dengan keislamannya. Hausnya akan Islam, tak membuat ia berhenti untuk belajar dengan mengikuti kajian-kajian Islam. Reaksi yang terpancar dari ayah dengan ketidaksukaannya membuat ia semakin semangat dalam menuntut dienNya. Bahkan ia rela jika suatu hari nanti akan diusir dari rumahnya. Ya Allah… saya pun diam tanpa kata. Hanya ucap syukur atas segala yang Allah berikan pada saya. Seandainya saya berada diposisinya, yang memiliki latar perbedaan yang amat tak terduga, dan seandainya..., seandainya..., saya berusaha menepis kata itu. Sekali lagi, Allah Maha Mengetahui tentang kemampuan hamba-hambaNya. Hingga Dia, tak menghidupkan saya pada posisi itu, atau posisi yang dirasakan oleh anak-anak Palestina. Ya Allah...
Pada pertemuan selanjutnya dengan orang yang berbeda, sosok perempuan yang juga teman kelas saya, suatu hari ia mengeluhkan tentang kondisinya dan orangtuanya yang boleh terbilang cuek dalam hal agama. Membiarkan dirinya berhamburan dalam pergaulan, hingga ia terlanjur memandang gelap Islam ini. Berawal dari pemantauan dia tentang saya yang sering ia tangkap, tentang kesibukan saya yang bergumul di luar kelas sehingga perhatian saya lebih terpusat pada kondisi di luar kelas. saya jarang jenguk kondisi kelas karena kesibukan beberapa ekskul yang saya tangani membuat saya alfa tentang mereka yang seharusnya mereka jauh lebih utama mendapatkan gizi baik dalam dakwah fardhiyah. Pemaparan tentang ia yang juga tertarik ingin dikenalkan Islam. Ia bercerita dan mempercayakan kisah kesulitannya untuk di simak oleh saya. Dari ceritanya, ia berharap ketika orangtuanya yang telah berpredikat sarjana dan berlabel haji mampu mengenalkannya dengan Islam secara kaffah, ternyata hanya sebatas angan-angan saja. Lalu, ia menangis tersedu-sedu saat ia sadar kalau selama ini orangtuanya hanya menitipkan ia pada pihak sekolah saja sepenuhnya untuk belajar Islam. Segalanya yang ada di dunia begitu mudah untuk dimilikinya membuat ia terkikiskan oleh iman, hingga ia pun tergilas oleh budaya yang lebih sering didengungkan dan tenggelam di dalamnya sedang ia hanya cukup menanti jawaban tentang pergolakan batin yang ia rasakan. Dan kembali rasa sesak menyeruak dalam diri. Sedang diri ini terlalu... dan sangat terlalu menyibukkan diri di luar sana.
Mendengar kisahnya, membuat saya sangat malu padaMu ya Allah… Di satu sisi ada orang yang sedang memperjuangkan keimanannya, di sisi lain ada orang yang begitu pasrah kehilangan meski ia menanti tanpa pasti. Sedang saya? Segalanya telah ada, lalu apa yang membuat langkah ini tertatih menggenggam keimanan ini, ya Allah?
Saat Engkau mendapati kondisi saya yang terseok-seok menjalankan segala perintah dan laranganMu, Engkau sengaja menyajikan perjumpaan ini untuk memetik ibrah darinya. Sedang diri ini ternyata harus belajar banyak bersyukur tentang orangtua yang sejak awal membimbing saya pada pengenalan pertama imanMu.
”Yaa Muqallibal quluub.. Tsabbit qalbii ‘alaa diinika.”