Saudaraku,
Bagaimanakah perasaan kita ketika ada benda-benda dunia yang kita sukai tiba-tiba saja hilang dan tak dapat kita temukan? Bagaimanakah suasana hati kita ketika apa yang menjadi hobi dan kesenangan kita, ataupun rencana liburan ke pantai yang telah disusun rapi jauh-jauh hari akhirnya berantakan dan batal dilaksanakan? Secara umum reaksi yang muncul dari kita adalah perasaan kecewa, jengkel, atau bahkan mungkin marah dan tidak terima terhadap biang penyebab segala kegagalan di atas.
Begitulah reaksi kebanyakan dari kita ketika banyak dari perkara dunia kita yang berlalu dan terlewatkan karena tidak sesuai dengan harapan. Namun sadarkah kita, ketika perkara kebaikan terlewat di depan mata, peluang kebaikan yang akan menambah pundi-pundi pahala dan hadirnya keridhoan Ilahi Robbiy akhirnya berlalu begitu saja, namun hal itu bagi kita merupakan perkara biasa dan bukan merupakan musibah?
Saudaraku,
Dikisahkan bahwa Hatim Al-Asham Rodhiyallahu’anhu pada suatu hari menuju masjid untuk menunaikan sholat berjama’ah. Sesampainya di sana, ternyata sholat telah selesai dilaksanakan. Tidak ada yang mengucapkan belasungkawa, turut berduka cita atas keterlambatan beliau itu selain Abu Ishak Al-Bukhari. Hatim Al-Asham pun berkata, “Andaikata putraku meninggal dunia, tentu lebih dari 10 ribu orang akan mengucapkan belasungkawa turut berduka cita kepadaku. Sebab, dewasa ini masyarakat memandang musibah dalam beragama lebih ringan daripada musibah dunia.
Dalam kesempatan lain, di dalam syarah kitab beliau “Al Hikam”, Al Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad menuturkan, “Tidak ada musibah yang lebih besar selain kemalasan dan hilangnya semangat dari hati seseorang untuk berbuat baik. Maka ketahuilah, bahwa dia sedang tertimpa musibah yang paling besar yang tiada lagi musibah yang lebih besar dari itu.”
Saudaraku,
Demikianlah sikap dan pandangan para pendahulu kita yang sholeh dalam memandang sebuah kebaikan. Tertinggalnya satu bagian dari amal kebaikan bagi mereka bukanlah sebuah perkara remeh, melainkan merupakan sebuah musibah agama, akan tetapi sebagaimana terbaliknya keadaan saat ini, dimana kita seringkali memandang remeh sebuah kebaikan yang terlewatkan tanpa pernah kita sesali dan usahakan untuk diperbaiki, padahal boleh jadi rahmat Allah ada pada perbuatan yang kita anggap remeh tersebut.
Saudaraku,
Semoga kisah di atas bisa menjadi renungan bagi kita, dan semoga Allah Subhanahu wa ta’ala senantiasa mencurahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita, memperbaiki hari-hari kita dengan kemuliaan taat, bertambahnya kebaikan pada diri kita, keluarga kita dan seluruh kaum muslimin, sehingga hari-hari yang berlalu dalam hidup kita mulai saat ini tidak lain telah berisi nilai-nilai kebaikan yang mulia dalam pandangan-Nya…aamiin.
Astagfirullahal ‘azhiim,
Wallahu a’lam
Sumber:
http://zidaburika.wordpress.com/2010/03/08/sebesar-apakah-musibah-agama-di-mata-kita/
Buku Antologi
Terbaca Selalu
-
Di sudut panggung megah ini, langkahku tak juga bergeming. Meski, sesekali mata ini terus mencari wajah...
-
Di sini, ku menepi di sudut kamar K ala pertemuan senja dipenuhi awan berarak jingga Selalu, kau mengukir hariku dikesepian I ngatka...
-
:dari Negeri bernama KKN Saudara… Hari ini, jiwa dan naluri kita kembali terluka atas adanya sebuah kata perrpisahan. Namun, percaya...
-
Aku tak pernah berpinta Untuk menjadi tulang rusuk atau bahkan mencurinya darimu, Padamu, Pemi...
-
Saat Sedih datang... BERDO'ALAH... Deraskan keluh kesah pada Sang Pencipta untuk menemukan jawaban Kedepannya... Saat jenu...
-
Pemuda adalah Ibrahim yang dengan kampaknya menebas leher paganisme yang dengan kekuatan argumentasinya menghancurkan kesombongan sang tiran...
J e j a k
Followers
Langganan:
Posting Komentar (Atom)