Senja yang mulai merangkak, menghampar kejinggaan di jantung kota mengiringiku dengan gontai menuju sebuah angkutan umum untuk pulang seusai ngampus. Baru sejenak dalam angkutan tersebut, tiba-tiba sang supir menyetel musik dengan nada-nada yang memekakan telinga.
“Pak, bisa dikecilin musiknya?” Tegasku. Meski berharap kata “kecilin” itu berganti “matiin”. Karena akan sama hasilnya, alunan itu tetap terdengar. Sang supir pun menurut instruksiku, mengecilkan alunan tersebut.
Entah karena alunan tersebut mengganggu perjalananku, sesekali aku menyimak lirik tersebut. Seperti biasanya, sepanjang perjalanan senja ini, aku tak pernah menemukan lirik lagu yang tak bertemakan cinta. Entah kehabisan tema, hingga semua lirik yang terlantunkan hanya mengurai kata cinta, cinta, dan cinta. Subjek dan objeknya tak jauh dari dan untuk dia, dia, dan dia. Astaghfirullah… Astaghfirullah… Astaghfirullah… Benar-benar tak sehat. Bisikku mendelik.
Karena bosan menyimak dan sedikit mual mendengarnya, aku menyimpulkan sendiri untuk semua lirik tersebut, cinta yang tak terbagi. Kasihan sekali para penikmat musik ini. Mereka hanya disuguhkan pada keindahan cinta, cinta yang tak terbagi. Cinta yang sejatinya indah, namun oleh oknum-oknum tertentu, ia berubah menjadi hal yang sempit. Fatalnya lagi, lirik-lirik ini dan semua lirik yang bersinggungan dengan kata c-i-n-t-a ini, mampu menyugesti banyak orang yang mengaku “music is my life”. Atau, “Hambar rasanya, kalo dunia ini gak dibubuhin musik”, dan masih banyak lagi kalau mau menuruti komentar-komentar mereka.
Padahal, menilik sejenak perkataan dari Imam ibnu Qayyim, “Tidak ada batasan cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri”. Membatasinya justru hanya akan menambah kabur dan kering maknanya. Maka batasan dan penjelasan cinta dan penjelasan cinta tersebut tidak bisa dilukiskan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu sendiri.
Tapi, apa yang kita dapati dari kebanyakan lirik tersebut? Seolah cinta mengurucutkan hanya pada sebuah objek, tak ada yang lain. Benar-benar memaksakan si pendengarnya, bahwa cinta memang tak terbagikan. Hingga para penikmat alunan-alunan tak bermakna tersebut jauh dari Pemilik Cinta yang hakiki. Ia mampu membelenggukan seseorang, menjauh secara perlahan dari aktivitas cinta untukNya. Al Qur’an, aktivitas yang bersifat sunnah, dan masih banyak lagi yang bisa mengantarkan seseorang untuk menikmati kecintaan padaNya, Allah subhanahu wa ta’ala.
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang mengangkat tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintai sebagaimana mencintai Allah, adapun orang-orang beriman sangat cinta kepada Allah”. (Al Baqarah: 165)
Rabb, adakah yang lebih berarti dari mencintaiMu?
Cinta yang tak terbagi terkadang meluputkan seseorang, tapi entah mengapa sarana-sarana ini selalu mendapat tempat di hati kaum muslim?
Pada akhirnya, segala sesuatu dikembalikan pada diri kita yang akan mempertanggungjawabkannya di akhirat kelak secara nafsi (seorang). Kitakah bagian dari pelaku cinta yang tak terbagi?
Wallaahu a’alam..
2 comments
CInta terkadang membutakan hati,shigga bnyak yg terjatuh dlm kubangan dosa.
wana'udzubillah mindzalik.
betul, mas.. membutakan sekaligus menggelincirkan seseorang.