Duri tajam itu memang menyakitkan
Karenanya sedu sedan seakan tak tertahankan
Namun...
Hidup ini pun tak pernah berhenti pada satu titik singgah
Lalu mengapa tak engkau hamparkan saja sajadah dan ratakan kening di atasnya?
Mohonkan ampun dalam hamburan do'a kepada Sang Pemilik Cinta
Nanar...
Pandangannya menerawang dari balik jendela kaca. Di luar sana, sang dewi malam masih bersinar temaram kekuningan. Tak henti memamerkan kecantikan pada setiap makhluk yang tersentuh cahayanya. Saat itu, dengan tangan gemetar dielusnya perut yang tampak semakin membesar.
Tak seindah rembulan, raut wajahnya kuyu dan kusam. Mata pun sembab karena ruah tangisan. Kepedihan itu masih saja menggurat, membuat tumpukan gundah dan keluh kesah yang semakin membuncah.
Kekecewaan jelas menyelubungi jiwa dan raganya. Kenangan itu memang sangat menyakitkan, karena telah direnggutnya sebuah nilai kesucian. Hati kecilnya berteriak, ingin berontak. Namun, kenyataan tak mungkin begitu mudah terhapuskan. Lelaki yang diharapkan mestinya bagaikan Pangeran, ternyata hanyalah seorang durjana. Memetik sari bunga, kemudian terbang entah kemana.
Berjuta impian tentang sebuah keluarga perlahan sirna. Mimpi akan kerinduan rumah mungil yang penuh canda tawa, hanya sekedar khayalan. Hasrat untuk mengukir jiwa-jiwa suci dan murni seakan tenggelam karena tiadanya pendamping seorang qawwam. Hari-hari lalu berganti dengan derai tangisan. Memilukan, sehingga menciptakan serpihan hati yang berserakan di mana-mana.
Perlahan, dilangkahkan kakinya ke pembaringan. Mencoba sejenak melepaskan lelah jiwa dan raga. Dipejamkannya mata, namun air bening tak mudah dibendungnya. Air mata itu mengalir, bahkan membasahi sarung bantal dan kapuk di dalamnya. Tubuhnya lemah, lunglai tiada daya. Di kesenyapan malam isaknya masih terdengar memilukan, menyiratkan penyesalan akan nasibnya yang telah ditoreh nista.
Esok menjelang, dan dengan rasa letih ia terjaga saat sinar mentari menerpa raut wajahnya. Jiwa yang rapuh itu seakan enggan menggerakkan raga. Tak berubah, tatapan matanya lantas kosong menerawang. Tak pula fitrah sebagai wanita menyapa kesadarannya akan detak kecil kehidupan di alam rahimnya. Perih itu masih ada. Luka pun masih menganga. Tanpa kuasa menahan segalanya, kembali air bening menerobos kelopak mata.
Duhai...
Apalah daya dirinya, jika kala itu setan telah pula mengambil peran. Sepercik darah yang mestinya tersaji setelah ikatan suci disimpulkan, tak akan pernah lagi dihidangkan. Belaian mesra yang diharapkan saat mereguk cinta di malam pertama pun hanyalah sekedar khayalan.
Aaah...
Indah harapan terkadang sangatlah berbeda dengan kenyataan. Namun, bila impian itu selalu saja dipenjara dalam jiwa, apakah ada beda antara keduanya? Penyesalan yang tiada kunjung usai pun bukankah dapat meranggas keimanan.
Duri tajam yang pernah menancap di jiwa memang sungguh menyakitkan. Tetapi hidup juga tidak pernah berhenti pada satu titik persinggahan. Waktu akan selalu menggulirkan siang dan malam atas titah Sang Pemiliknya. Lalu, mengapa tak usah hiraukan saja torehannya, bila itu justru akan membuat hidup ini akan jauh lebih berharga.
Hapuslah air mata, hentikan juga sedu sedan. Bila akhir sepertiga malam menjelang, hamparkan sajadah dan ratakan kening di atasnya. Kemudian, tengadahkan telapak tangan seraya memohon ampunan dalam jutaan butir do'a. Bersimpuh, seraya merenungkan semua kekhilafan tentu akan lebih menenangkan jiwa.
Sabarlah...
Tiada seorang jua di dunia yang bersih dari segala dosa dan noda. Pun, masih pula tersedia banyak lembaran kertas untuk menggoreskan kehidupan yang lebih bermakna. Tataplah keindahan alam di luar sana, dengar dan rasakan senandung tasbih serta tahmid yang tak henti dialunkan penghuninya. Belajarlah dari mereka yang tercipta tidak sempurna seperti manusia, namun tak pernah berkeluh kesah akan nasibnya.
Semoga.
-Tulisan ini telah dimuat di buku Sapa Cinta dari Negeri Sakura-
http://abuaufa.multiply.com