Ada sebuah pesan menarik dari seorang ulama salaf, tu’rafuna fi ahlis-sama’ wa tukhfuna fi ahlil ardhi. Berusahalah agar kalian lebih dikenal oleh para penghuni langit, walau tak seorangpun penduduk bumi yang mengenal kalian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut tipe manusia seperti ini dengan sebutan Al Akhfiya’; manusia-manusia tersembunyi. Beliau juga mengatakan Allah Azza wa Jalla sangat mencintai manusia tipe ini. Mereka tidak pernah peduli apa kata manusia tentang mereka, sebab -bagi mereka- yang penting adalah apa kata Allah tentang mereka. Itulah sebabnya, mereka tidak pernah mengalami kegilaan akan kemasyhuran.
Dan ini adalah kisah salah satu dari mereka. Ia hidup di masa tabi’in. Namun hingga hari ini tak satu buku sejarahpun yang dapat menyingkap identitas pria ini. Satu-satunya informasi tentangnya hanyalah bahwa ia seorang berkulit hitam dan bekerja sebagai tukang sepatu! Shahibul hikayat adalah seorang tabi’in bernama Muhammad ibn al-Munkadir –rahimahullah-.
Malam itu sudah terlalu malam dan gelap. Namun walaupun malam, udara terasa lebih panas dari biasannya. Tidak aneh memang, sebab hari-hari itu adalah hari-hari kemarau panjang di kota itu. Sudah satu tahun ini kota Madinah tidak pernah mendapat curahan air dari langit. Entah telah beberapa kali penduduk kota itu berkumpul untuk melakukan shalat istisqa’ demi meminta hujan. Namun hingga malam itu, tak setetes hujanpun yang turun menemui mereka.
Dan malam itu, seperti biasanya bila sepertiga akhir malam menjelang, Muhammad ibn al-Munkadir meninggalkan rumahnya dan bergegas menuju Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Usai mengerjakan sholatnya malam itu, ibn al-Munkadir bersandar ke salah satu tiang masjid. Tiba-tiba ia melihat sebuah sosok bergerak tidak jauh dari tempatnya bersandar. Ia mencoba untuk mengetahui siapa sosok itu. Agak sulit sebab malam sudah begitu gelap. Dengan agak susah payah ia melihat seorang pria berkulit hitam agak kecoklatan. Tapi ia sama sekali tidak mengenalnya. Pria itu membentangkan sebuah kain di lantai masjid itu dan pria itu sepertinya benar-benar merasa hanya ia sendiri dalam masjid. Ia tidak menyadari kehadiran Ibn al-Munkadir tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Ia berdiri mengerjakan shalat dua raka’at. Usai itu, ia duduk bersimpuh. Begitu khusyu’ ia bermunajat. Dalam munajat itu, ia mengatakan, “Duhai Tuhanku, penduduk negeri Haram-Mu ini telah bermunajat dan memohon hujan pada-Mu namun Engkau tidak kunjung mengaruniakannya pada mereka. Duhai Tuhanku, sungguh aku mohon pada-Mu curahkanlah hujan itu untuk mereka.”
Ibn al-Munkadir yang mendengar munajat itu agak sedikit mencibir. “Dia pikir dirinya siapa mengatakan seperti itu,” gumamnya dalam hati. “Orang-orang shaleh seantero Madinah telah keluar untuk meminta hujan, namun tak kunjung dikabulkan… Lalu tiba-tiba, orang ini berdoa pula…,” gumamnya.
Namun sungguh di luar dugaan, belum lagi pria hitam itu menurunkan kedua tangannya, tiba-tiba saja suara guntur bergemuruh dari langit. Tetesan-tetesan air hujan menetes ke bumi. Sudah lama tidak begitu. Tak terkira betapa gembiranya pria itu. Segala pujian dan sanjungan ia ucapkan kepada Allah ta’ala. Namun tidak lama kemudian ia berkata dengan penuh ketawadhu’an, “Duhai Tuhanku, siapakah aku ini? Siapakah gerangan aku ini hingga Engkau berkenan mengabulkan doaku?”
Ibn al-Munkadir hanya tertegun di tempatnya memandang pria itu. Tak lama sesudah itu, pria tersebut bangkit kembali dan melanjutkan raka’at-raka’atnya. Hingga ketika saat subuh menjelang, sebelum kaum muslimin lainnya berdatangan, ia segera menyelesaikan witirnya. Ketika shalat subuh ditegakkan, ia masuk ke dalam shaf seolah-olah ia baru saja sampai di masjid itu. Usai mengerjakan shalat subuh, pria itu bergegas keluar meninggalkan masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jalan-jalan kota Madinah subuh itu digenangi air. Pria itu berjalan cepat sambil mengangkat kain bajunya. Menghilang. Ibn al-Munkadir yang berusaha mengikutinya kehilangan jejak. Ia benar-benar tidak tahu kemana pria hitam itu pergi.
Malam kembali merangkak semakin jauh. Malam ini, Muhammad ibn al-Munkadir kembali mendatangi Masjid Nabawi. Dan seperti malam kemarin, ia kembali melihat pria hitam itu. Persis seperti kemarin. Ia mengerjakan shalat malamnya hingga subuh menjelang. Dan ketika shalat ditegakkan, ia masuk ke dalam shaf seperti orang yang baru saja tiba di masjid itu. Ketika sang imam mengucapkan salam, pria itu tidak menunggu lama. Persis seperti kemarin, ia bergegas meninggalkan masjid itu. Dan Ibn al-Munkadir mengikutinya dari belakang. Ia ingin tahu siapa sebenarnya pria itu. Pria itu menuju ke sebuah lorong dan setibanya di sebuah rumah ia masuk ke dalamnya. “Hmm, rupanya di situ pria ini tinggal. Baiklah sebentar aku akan mengunjunginya.”
Matahari telah naik sepenggalan. Usai menyelesaikan shalat Dhuha-nya, Ibn al-Munkadir pun bergegas mendatangi rumah pria itu. Ternyata ia sedang sibuk mengerjakan sebuah sepatu. Begitu ia melihat Ibn al-Munkadir, ia segera mengenalinya. “Marhaban wahai Abu ‘Abdullah –begitulah Ibn al-Munkadir dipanggil-! Adakah yang bisa kubantu? Mungkin engkau ingin memesan sebuah alas kaki?” ujar pria itu menyambut kedatangan Ibn al-Munkadir.
Namun Ibn al-Munkadir justru menanyakan hal yang lain. “Bukankah engkau yang bersamaku di masjid kemarin malam itu?”
Dan tanpa diduga, wajah pria itu tampak sangat marah. Dengan nada suara yang tinggi ia berkata, “Apa urusanmu dengan itu semua, wahai Ibn al-Munkadir??!”
“Tampaknya ia sangat marah. Aku harus segera pergi dari sini,” ujar Ibn al-Munkadir dalam hati. Ia pun segera pamit meninggalkan rumah tukang sepatu itu.
Inilah malam ketiga sejak peristiwa itu. Seperti malam-malam sebelumnya, malam itu Ibn al-Munkadir berjalan menuju masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Satu hal yang agak berbeda malam itu. Di hatinya ada harapan yang kuat untuk melihat pria tukang sepatu itu. Setibanya di masjid dan mengerjakan shalat seperti biasanya, ia bersandar sambil berharap pria itu kembali terlihat di depan matanya.
Namun malam semakin malam, pria yang ditunggu-tunggu tidak kunjung kelihatan. Ibn al-Munkadir tersadar. Ia telah melakukan kesalahan. “Inna lillah ! Apakah yang telah kulakukan??” itulah gumamnya saat menyadari kesalahan itu.
Dan usai shalat subuh, ia segera meninggalkan masjid itu dan mendatangi rumah sang tukang sepatu. Namun, yang ditemukan hanyalah pintu rumah yang terbuka dan tidak ada lagi pria itu. Penghuni rumah itu berkata,”Wahai Abu ‘Abdullah! Apa yang terjadi antara engkau dengan dia?”
“Apa yang terjadi?” Tanya Ibn al-Munkadir
“Ketika engkau keluar dari sini kemarin itu, ia segera mengumpulkan semua barangnya hingga tidak satupun yang tersisa. Lalu ia pergi dan kami tidak tahu kemana ia pergi hingga kini,” jelas penghuni rumah itu.
Dan sejak hari itu, Ibn al-Munkadir mengelilingi semua rumah yang ia ketahui di kota Madinah. Namun sia-sia belaka. Pencariannya tidak pernah membuahkan hasil. Dan hingga kini di abad 14 Hijriyah ini. Kita pun tidak pernah tahu siapa pria tukang sepatu itu. Jejak-jejaknya yang terhapus oleh hembusan angin sejarah seolah bergumam, “Biarlah, hanya Allah yang mengenalku…”
Sumber: Kerinduan Seorang Mujahid, Abul Miqdad al-Madany (Hal:103-108)
http://wimakassar.org
3 comments
Subhanallah...
Birlah hanya Allah yang mengenalku..
Iya.. MasyaALLAH..
sy jd penasaran orangnya..
Barakallaahu fiiki.. ^^
Subhanallah