Sepenggal siang yang mengantarku pulang ke rumah. Treet.. Treet..
Ponselku –my Ahfadzi- bergetar menyentakku.
Muncul sebuah pesan dari seseorang yang beberapa menit lalu baru saja terpisahkan
karena perkuliahan telah berakhir.
“Saya tau, saya bukanlah seorang pejuang! Saya tau itu. Saya masih malas. Masih bodoh.. Masih jauh dari kalian. :(”
Tiba-tiba,
aku merasa dicecar oleh kata-kata itu. Ada apa denganmu, saudariku?
Sepeninggalanku tadi, aku merasa ia masih baik-baik saja. Masih sempat melempar
senyum dan mencipta atmosfer menyenangkan. Buru-buru, aku menekan tuts ponsel
untuk meminta kembali senyumnya..
“Kenapa ukhti? Kita boleh menilai diri kita rendah karena orang-orang terdahulu menunjukkan keimanannya yang nyata. Melalui perjuangan, dakwah, ibadah yang tak bisa dikalahkan. Tapi, kita masih layak memantaskan diri untuk menjadi seperti mereka, jundi-jundi Allah. Karena atasNya, iman dan ilmuNya masih dititipkan di hati ini. Tinggal gimana kita memperlakukannya. Agar ia tumbuh bermekaran hingga kita menemuiNya.. Wallaahul musta’an ~semoga Allah menolong kita.. Mengembalikan semangat ini yang kadang surut. Maafkan saya, jika tak bisa jadi saudari yang baik.”
Masih
menyimpan tanda tanya, kukirim kilat untuk mendapat jawaban apa yang membuatnya
begitu cepat menjustifikasi dirinya.
Ponselku kembali menderit, sebuah pesan kembali
muncul. Segera kubuka,
“Saya mungkin tak sehebat dirinya dan akhwat lain yang senantiasa bisa kesana kemari memperlihatkan mujahadahnya. Baru kali ini saya menitikkan air mata untuk kalimatnya yang sebenarnya saya sangat tak ridho. Tapi, mungkin dia benar menggambarkan saya yang tak pantas menjadi seorang pejuang. Jika ada waktu, saya akan cerita, agar tak ada penyakit hati..”
Aku
meluruh saat menatap sms ini.
“Insya Allah.. Mintalah pada Allah untuk perasaan yang kadang keruh karena perbuatan hambaNya. Pelihara rasa husnudzan, ukhti..”
***
Keesokan pagi yang masih menyapa..
Seusai menyalami satu per satu penghuni kelas,
aku beranjak mencari sosoknya. Kucoba menyapa dan merentangkan percakapan.
“Hey.. Kenapa kemaren ukhti?”
“Gak kok, ukhti.. Mungkin saya yang salah
paham..” Balasnya dengan dibuat santai. Bagiku, itu tidak wajar ketika ia
memaksakan memasang wajahnya yang dibuat semanis mungkin. Aku sangat mengenal
sosoknya.
“Kenapa dengan pejuang?” Pancingku sedikit
memaksa.
Tak butuh usaha yang memakan waktu lama untuk
mengajak ia kompromi mengeluarkan uneg-unegnya. Terenyuh mendengarnya.
“Saya sedih pas seseorang bilang ‘kalau nama Khansa gak cocok untuk saya
karena artinya pejuang’.. Apa saya memang gak pantas? Saya sedang mencari
nama hijrah. Karena nama saya tak memiliki arti yang bisa menjadi sebuah doa
yang ketika menyebutnya, sama seperti mendoakan kebaikan untuk saya dan untuk
orang yang memanggilnya.” Paparnya dengan perasaan yang masih ditahan.
Sebuah suara akhirnya membuka pada dialog
hati..
“Saya bercerita seperti ini bukan karena
membencinya, ukhti.. Tapi saya khawatir, bahwa akan ada orang-orang lain yang
tersakiti karena ucapannya. Itu saja.” Aku tersenyum ketika ia bisa meredam
kesedihannya dengan masih memelihara husnudzan. Sedang aku hanya seseorang yang
mencoba mengerti.
Rupanya, kata-kata membawamu mengajak negosiasi
hatimu.
Agar mau
menuruti kehendak yang baik, bukan sebaliknya..
(Tulisan lama yang baru sempat ku layarkan
setelah banyak kesibukan menghardik.. Dan membiar doa ini selalu ada di setiap
kejadian, “Allah, mampukan
kami untuk mengerti..”)
9 comments
ah, semangat itu kadang....
```syukron... jawaban2nya menyejukkan...
*Ya Allah... beri kami semanagat dan keistiqomahan tuk jalani hari2 ini...
dunia ikhwan-akhwat toh. aktivis LDK ya? pasti afiliasinya PKS, hehehe. ini luar biasa. harus saling memahami dan menyemangati. sama halnya saya dan murid2 di kelas, kalo gak gitu ya gak bisa saling mendukung dan membatu.s alam ukhuwah. ditunggu kunjungan baliknya
Ya Allah Ya Rabb..
lagi-lagi membuatku pilu membacanya...
-----------------------
#Basmah sudah jadi anak muridku ^^ kerjakan PR SD yaa :)
Jika dibandingkan dengan para pejuang dakwah dari beberapa zaman yang lalu, memang kita yang berjuang di zaman ini belum ada apa-apanya..
Namun, yang kita miliki adalah semangat yang sama. Semangat menegakkan kalimat Allah, menebarkan cahaya ISLAM, dan semangat-semangat positif lainnya.
Semangat itu pula yang harus menjaga lilin-lilin harapan terus ada. Selama harapan masih ada, Allah akan mendengar.. meski ia terwujud dengan desibell terendah..
Harapan memancing semangat.
Semangat melahirkan perbuatan.
Perbuatan, Insya Allah menciptakan esok yang lebih baik.
@d' Anoim: Aamiin ya Allah.. :)
@rusydi: Hm.. tebakannya hampir benar.. alhamdulillah bergelut di LDS (lembaga dakwah sekolah).. jg bkn dr PKS..
@kak Maya: insyaAllah, akan segera saya kumpul PRnya..
@anime lover: sy segera kesana.. siap-siap saja, ya.. hhe.. makasih udah memberi jejak disini..
@kak Arya:MasyaAllah, lagi-lagi saya mendapat banyak belajar, walau hanya dari sebuah catatan kecil bernama komentar. Makasih kakak.. :)
Astaghfirullah...
ternyata memang lidah itu tak bertulang...
kata-kata dari lisan yang kadang dianggap guyonan, ternyata menyisakan jejak yag sangat dalam hingga membuat seseorang menitikkan air mata.
Saudari yang melontarkan kata tersebut, pasti tak bermaksud untuk menyakiti hati saudarinya. Bukan bermaksud untuk tidak mendo'akannya menjadi "Pejuang" tapi kayaknya ada nama yang lebih cocok untuknya.
Saran: gimana kalau RIFQOH???
artinya lembut... tapi lembut bukan berarti lemah kan??? Tolong disampaikan yah ke saudarinya. Semoga nama tersebut disenangi olehnya dan menghapuskan kesedihannya :-)
Setiap perkataan selalu diusahakan untuk dibuat mengerti. Meski harus menelannya dengan perasaan pahit..
Insya Allah akan disampaikan untuk sarannya.. :)
subhanallah ukhuwahnya indah sekali.. :)
salam kenal..
salam ukhuwah juga, nizwa.. makasih udah mw bertandang ke lapak saya.. :)