"Ummi, tadi pembukaan tema ketiga surah an-Naba'." Sambut Aisyah sepulang dari Kuttab.
Aisyah dan teman-teman dari kelas Qonuni 2, baik akhwat dan ikhwan diarahkan ke masjid Nurul Wakaf. Sesampai di masjid, semua santri diminta untuk menutup mata dengan slayer yang telah diamanahkan untuk dibawa.
Setelah semua dipastikan telah menutup mata dan mengikuti instruksi ustadz dan ustadzahnya, seketika itu pula suasana yang tadinya hening nan sejuk berubah.
Tetiba Aisyah merasakan detak jantungnya berdegup kencang. Tidak ada lagi pandangan dunia luar, hanya gelap yang menyelimuti dan suara-suara yang mulai mengisi ruang.
Suara gemuruh mulai terdengar, seperti langit yang membelah dengan ganasnya, menggema di antara dinding-dinding masjid. Aisyah merasakan getaran di dalam dadanya, seakan-akan dia sedang berada di tengah medan peperangan yang hebat. Suara gemuruh itu semakin membesar, hingga menggetarkan seluruh tubuhnya. Seperti ada raungan puluhan pesawat tempur yang membombardir tanpa henti. Kemudian ada suara sendu dan rintihan yang menggema bercampur di sana. Seketika itu pula udara terasa berat, seolah setiap tarikan napas dipenuhi ketakutan yang mendalam.
Satu per satu teman Aisyah menangis. Aisyah merasakan gelombang emosi yang sama menghantam dadanya. Pikirannya penuh dengan bayangan ngeri. "Seperti kiamat, Ummi.."
Setelah selesai dan dipersilakan untuk melepas slayer yang menutupi mata, beberapa wajah terangkat, saling melempar pandang dengan mata yang rupanya tak sedikit sembab oleh tangis. Beberapa dari mereka, meski samar, mencoba meresapi apa yang Aisyah dan teman-temannya dengar di masjid.
"Apa yang dirasakan saat dengar suara hantaman keras itu?" Ummi penasaran ketika Aisyah menceritakan teman-temannya menangis.
"Takut, Ummi.. Karena suaranya keras sekali. Pokoknya ngeriiii... Banyak beristighfar setiap kurasa takut sampai menangis tidak tau mau lakukan apa-apa."
Mungkin kata-katanya tak bisa menghapus semua rasa takut itu. Tapi setidaknya, ia ingin menanamkan sedikit keberanian di hatinya. Jika pun peperangan itu nyata, dan meski kiamat terasa begitu dekat, ia harus tetap bertahan minimal —dengan doa, dengan harapan, dan dengan iman yang tak tergoyahkan melalui dzikirnya bi idznillaah.
"Setelah itu, Ummi.." Sambung Aisyah kembali. "Kita bermajelis lagi. Akhwat di ustadzah, yang ikhwan bermajelis dengan Ustadz. Terus ada tulisan yang disiapkan di dekat masjid. Masih ada yang membaca sambil menangis, Ummi.."
Ummi hanya tersenyum. Tak ingin mengomentari perkara tangisan anak-anak ini.
"Apa yang tertulis di sana?" Tanya Ummi penasaran.
"Tidak kuingat semua, Ummi. Ada satu yang paling kuingat." Jawab Aisyah. "Jika Allah taqdirkan kamu masuk surga, maka para malaikat menyambutmu dengan salaamun 'alaikum bimaa shabartum. Karena di dunia kamu berlelah-lelah mengerjakan amalan yang Allah perintahkan."
Masyaa Allah Laa quwwata illaa billaah... Meski masih saja bergelayut tanya dalam hati Ummi, tentang pada sekian menit menegangkan tadi pada Aisyah, kemudian pada sekian menit selanjutnya, entah apa yang disampaikan oleh ustadz dan ustadzahnya. Mengingat wajah sumringah terpancar di wajah Aisyah.
Dalam pada ketakutan itu, sejatinya ia menjadi ujian terbesar yang senantiasa akan menghampiri sebagian kita. Ketakutan pada kekhawatiran duniawi, ketakutan akan datangnya perang, ketakutan datangnya kehancuran, dan ketakutan datangnya pada hari yang telah dijanjikan. Dan, seperti apakah bentuk menghadapi ketakutan itu?
Allaahu a'lam.
Bumi Allah, Makassar
Kamis, 15 Rabi'ul Awal 1446 H || 19 September 2024